Minggu, 14 Juni 2009

TRAFFICKING DAN PENANGGULANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA

Lima tahun terakhir ini persoalan hak-hak asasi manusia (HAM) semakin marak di Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan semakin meningkatnya tuntutan anggota masyarakat baik individual maupun kolektif terhadap penegakan HAM. Terlepas dari berbagai penilaian yang seringkali subyektif terhadap gerakan-gerakan tersebut, namun secara kelembagaan perhatian bangsa Indonesia terhadap HAM mau tidak mau harus ditingkatkan. 
Pergantian kekuasaan dari rejim otoritarian ke rejim demokrasi pada tahun 1998 telah memberikan angin segar terhadap penegakan HAM di Indonesia. Pemerintah kemudian mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menopang usaha penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. 
Tahun 1998 menjadi satu catatan penting dalam sejarah Indonesia. Pada masa tersebut, gerakan masyarakat yang dimotori oleh mahasiswa berhasil mendesak presiden Soeharto untuk mundur dari tampuk kepresidenan. Seiring dengan itu pula, jejak kekerasan yang ditinggalkan oleh Rejim orde baru kemudian mulai terkuak. Sebagaian besar masyarakat baru menyadari bahwa selama ini, Indonesia dibangun dengan dasar kekerasan serta pelanggaran terhadap HAM. 
Sejak itu pula, upaya penegakan HAM terus dilakukan oleh berbagai pihak. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan salah satu kelompok masyarakat yang terus mengkampanyekan tentang penegakan HAM. Selain itu, LSM yang fokus pada permasalahan HAM mulai melakukan upaya-upaya penegakan HAM serta mendesak pemerintah untuk segera melakukan penyelesaian berbagai kasus palanggaran HAM yang telah terjadi dalam masa orde baru. Dalam upaya tersebut, LSM menjalin kerja sama global dengan jaringan kerja internasional untuk mendapatkan dukungan.
Desakan yang begitu kuat dari berbagai pihak telah membuat pemerintah mau tidak mau memberikan kekuatan lebih kepada Komnas HAM. Pada tahun 1999, pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memberikan landasan yang kuat tentang keberadaan, tujuan, fungsi, keanggotan, asas, kelengkapan, serta tugas dan wewenang Komnas HAM.
Guna lebih memberikan landasan hukum pada penegakan HAM, Pemerintah pada akhirnya telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dengan diterbitkannya kedua peraturan perudang-undangan di atas, penegakan HAM di Indonesia menjadi lebih jelas kepastian hukumnya.
Akhir-akhir ini, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain terjadi peningkatan pelanggaran HAM yang dirasakan sangat serius dan dirasakan sangat mengganggu penegakan HAM. Masalah tersebut adalah adanya atau kian maraknya kasus perdagangan perempuan dan anak atau yang lebih dikenal dengan istilah “Trafficking”.
Trafficking adalah segala tindakan yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara, penindaktanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara di tempat tujuan, perempuan dan anak. 
Adanya Trafficking yang sering terjadi di dunia ini, khususnya di Indonesia menjadikan penegakan HAM di Indonesia tidak dapat berjalan dengan maksimal dan optimal, sehingga perlu kiranya pemerintah Indonesia mengantisipasinya. Mendasarkan uraian tersebut, maka penulis berkeinginan untuk mengetahui upaya-upaya pemerintah Indonesia dalam penanganan Trafficking ke dalam bentuk penulisan skripsi yang berjudul “TRAFFICKING DAN PENANGGULANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA”.



H. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini permasalahan yang akan di bahas dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan Trafficking menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia?
2. Bagaimanakah penanggulangan Trafficking menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia?
3. Kendala-kendala apa yang muncul dalam upaya penanggulangan Trafficking menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia ?

I. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Trafficking
Trafficking adalah segala tindakan yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara, penindaktanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara di tempat tujuan, perempuan dan anak. 
Trafficking dilakukan dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik, pendulikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentaan, memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan dimana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual atau adopsi ilegal.
Definisi mengenai perdagangan orang mengalami perkembangan sampai ditetapkannya “Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children Suplementing the United Nation Convention Against Transnational Organized Crime” tahun 2000. Dalam protokol tersebut yang dimaksudkan dengan perdagangan orang adalah: (a) ... the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purposes of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs. (“... rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun penerimaan/pemberian bayaran, atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi, yang secara minimal termasuk ekspolitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupainya, adopsi ilegal atau pengambilan organ-organ tubuh”). 
Definisi tersebut di atas diperluas dengan ketentuan yang berkaitan dengan anak di bawah umur (di bawah 18 tahun), bahwa: The recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of a child for the purpose of exploitation shall be considered “trafficking in persons” even if this does not involve any of the means set forth in subparagraph (a). 
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari perdagangan orang adalah:
1. Perbuatan: merekrut, mengangkut, memindahkan, menyembunyikan atau menerima.
2. Sarana (cara) untuk mengendalikan korban: ancaman, penggunaan paksaan, berbagai bentuk kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian/penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.
3. Tujuan: eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk ekspoitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, pengambilan organ tubuh. 
Dari ketiga unsur tersebut, yang perlu diperhatikan adalah unsur tujuan, karena walaupun untuk korban anak-anak tidak dibatasi masalah penggunaan sarananya, tetapi tujuannya tetap harus untuk eksploitasi.

2. Penegakan Hukum 
Penegakan hukum terdiri dari kata penegakan dan hukum. Penegakan berasal dari kata penegak yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya adalah yang mendirikan/ menegakkan. Penegak hukum adalah yang menegakkan hukum. 
Mardjono Reksodipuro mengatakan bahwa dalam arti sempit penegak hukum hanya berarti polisi dan jaksa. Di Indonesia istilah ini diperluas sehingga mencakup pula hakim dan pengacara. Jadi penegak hukum adalah aparat yang melaksanakan atau menjalankan hukum, yaitu polisi, jaksa, hakim, pengacara termasuk Lembaga Pemasyarakatan. 
Pengertian penegakan hukum dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah law enforcement dan diartikan the act of putting something such as a law into effect, the execution of a law, (penegakan hukum adalah suatu tindakan terhadap sesuatu/kejadian sesuai dengan hukum yang berlaku).
Menurut Mantan Jaksa Agung, Hari Suharto, dalam makalahnya yang disampaikan dalam seminar “Menata Materi Undang-Undang Kepolisian” tanggal 10 - 11 Desember 1984 di PTIK Jakarta, bahwa penegakan hukum adalah:
“suatu rangkaian kegiatan dalam rangka usaha pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku baik yang bersifat penindakan maupun penegakan mencakup keseluruhan kegiatan baik teknis maupun administratif yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, sehingga dapat melahirkan suasana aman, damai dan tertib demi untuk pemantapan kepastian hukum dalam masyarakat”. 

Sudarto mengatakan bahwa dalam arti luas, hukum mengatur masyarakat secara patut dan bermanfaat dengan menetapkan apa yang diharuskan ataupun yang dibolehkan dan sebaliknya. Dengan demikian menarik garis antara apa yang sesuai hukum dan apa yang melawan hukum. Hukum dapat mengkualifikasikan sesuatu perbuatan sesuai dengan hukum atau mendiskualifikasikannya sebagai melawan hukum. Perbuatan yang sesuai dengan hukum tidak merupakan masalah dan tidak perlu dipersoalkan; yang menjadi masalah ialah perbuatan yang melawan hukum. Bahkan yang diperhatikan dan digarap oleh hukum ialah justru perbuatan yang disebut terakhir ini, baik perbuatan melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi (onrecht in potentie). Perhatian dan penggarapan perbuatan itulah yang merupakan penegakan hukum. 
Kalau tata hukum dilihat secara skematis, maka dapat dibedakan adanya tiga sistem penegakan hukum, yaitu sistem penegakan hukum perdata, sistem penegakan hukum pidana dan sistem penegakan hukum administrasi. Sejalan dengan itu terdapat berturut-turut sistem sanksi hukum perdata, sistem sanksi hukum pidana dan sistem sanksi hukum administrasi (tata usaha negara). 
Ketiga sistem penegakan hukum tersebut masing-masing didukung dan dilaksanakan oleh alat perlengkapan negara atau biasa disebut aparatur (alat) penegak hukum, yang mempunyai aturan sendiri-sendiri. 
Selanjutnya dikatakan bahwa dilihat secara fungsional, maka sistem penegakan hukum itu merupakan suatu sistem aksi. Ada sekian banyak aktivitas yang dilakukan oleh alat perlengkapan negara dalam penegakan hukum. Yang dimaksud dengan “alat penegak hukum” itu biasanya hanyalah kepolisian, setidak-tidaknya badan-badan yang mempunyai wewenang kepolisian atau kejaksaan. Akan tetapi kalau penegakan hukum itu diartikan secara luas, seperti yang dikemukakan di atas, maka penegakan hukum itu menjadi tugas pula dari pembentuk undang-undang, hakim, instansi pemerintahan, aparat eksekusi pidana. Penegakan hukum di bidang pidana ini didukung oleh alat perlengkapan dan peraturan yang relatif lebih lengkap dari penegakan hukum di bidang-bidang lainnya. Aparatur yang dimaksud disini ialah kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan aparat eksekusi pidana, sedang peraturan-peraturan yang dikatakan lebih lengkap ialah antara lain ketentuan-ketentuan hukum acara pidana, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang tentang Kepolisian, Undang-Undang tentang Kejaksaan dan lain sebagainya.
Memang aturan-aturan dalam hukum acara pidana memberi petunjuk apa yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dan fihak-fihak atau orang-orang yang terlibat di dalamnya, apabila terjadi atau ada persangkaan terjadi perbuatan yang melawan hukum atau apa yang disebut kejahatan dalam arti yang luas. Hukum acara seperti hakekat hukum pada umumnya, bersifat normatif, jadi mengandung sesuatu yang seharusnya membicarakan masalah penegakan, di sini tidak membicarakan masalah hukumnya, melainkan apa yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum dalam menghadapi masalah-masalah dalam penegakan hukum. 
Tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan merupakan tujuan hukum pada umumnya. Begitu pula dalam hukum pidana, untuk menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan diperlukan perangkat perundang-undangan yaitu hukum acara pidana. Tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan sudah merupakan tuntutan manusiawi yang bersifat universal, setiap orang kapanpun dan dimanapun selalu menginginkan ditegakkannya hukum, kebenaran dan keadilan tersebut.
Sehubungan dengan penegakan hukum pidana di atas, Harun M Husein mengatakan :
“Hukum acara pidana berfungsi mengatur bagaimana tata cara yang harus ditempuh agar hukum pidana dapat ditegakkan, penegakan hukum pidana itu dilakukan dengan berusaha untuk mencari dan mendapatkan kebenaran material (kebenaran yang selengkap-lengkapnya) dan di atas kebenaran material yang didapatkan oleh hukum acara pidana itu ditegakkanlah kebenaran keadilan dan kepastian hukum”. 

Selanjutnya, mengenai fungsi dari hukum acara pidana dalam penegakan hukum pidana, A. Soetomo berpendapat :
“Hukum acara pidana memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur mekanisme proses sejak terjadinya tindak pidana, yang selanjutnya diketahui sendiri oleh aparatur negara c.q. penyidik ataupun dilaporkan atau diadukan kepada penyidik, baik oleh yang terkena kejadian itu sendiri ataupun oleh orang lain, sampai selanjutnya diambil langkah-langkah oleh penyidik, lalu hasilnya diserahkan kepada penuntut umum, kemudian disidangkan di pengadilan negeri, sehinga mendapat putusan”. 

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kejelasan bahwa tahap-tahap penegakan hukum pidana sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana, yaitu sebagai berikut :
a. Penyidikan (Opsporing)
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Tindakan ini dimaksudkan untuk mengumpulkan bukti dengan harapan bukti itu dapat membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi dan menjadi titik tolak dalam usaha menemukan tersangka (Pasal 1 Ayat (2) KUHAP). Jadi penyidik perkara pidana, seperti pencurian, penipuan, pembunuhan dan sebagainya. Terang dalam arti bahwa unsur-unsur yang diperlukan untuk menuntut peristiwa di muka hakim menjadi lengkap. Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 KUHAP, penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia dan atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
b. Penuntutan (Vervolging)
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di pengadilan (Pasal 1 Ayat (7) KUHAP). Penuntutan perkara pidana adalah tugas yang dilakukan oleh Kejaksaan (Pasal 137 KUHAP).
c. Peradilan (Rechspraak)
Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 Ayat (9) KUHAP). Jadi menjalankan pengadilan perkara adalah tugas pengadilan negeri (Pasal 84 KUHAP).
d. Pelaksanaan Putusan (Executie)
Melaksanakan putusan hakim adalah menyelenggarakan supaya segala sesuatu yang tercantum dalam putusan hakim itu dapat segera dilaksanakan, misalnya apabila putusan itu berisi pembebasan terdakwa, maka terdakwa harus segera dikeluarkan dari tahanan. Apabila berisi penjatuhan pidana denda, maka denda itu juga harus segera dibayar. Demikian pula apabila putusan merupakan penjatuhan pidana penjara, maka terpidana menjalani pidananya dalam lembaga pemasyakatan, dan sebagainya. Pelaksanaan putusan hakim disebut pula dengan istilah eksekusi yang merupakan tugas dari Kejaksaan (Pasal 270 KUHAP).
Dilihat sebagai suatu proses kebijakan, penegakan hukum pidana pada hakekatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahap, yaitu:
a. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in absrtacto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan legislatif.
b. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai pengadilan. Tahap kedua ini dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif.
c. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan eksekutif atau administratif. 
Ketiga tahap tersebut, dilihat sebagai usaha atau proses nasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang merupakan perwujudan dari kebijakan nasional. Jadi tegasnya kebijakan pembangunan harus diusahakan terwujud pada ketiga tahap kebijakan penegakan hukum tersebut di atas. Inilah makna dan konsekuensi dari pernyataan bahwa penegakan hukum pidana merupakan bagian integral dari kebijakan sosial seperti diuraikan di muka. Jadi tersimpul di dalamnya pengertian social engineering by cryminal law.
Konsekuensi demikian jelas menuntut kemampuan yang lebih atau kemampuan plus dari setiap aparat penegak hukum pidana, yaitu tidak hanya kemampuan di bidang yuridis, tetapi juga kesadaran, pengetahuan dan kemampuan yang memadai di bidang kebijakan pembangunan yang menyeluruh. Tanpa kesadaran, pengetahuan dan kemampuan yang memadai di bidang pembangunan, sulit diharapkan berhasilnya pembangunan masyarakat dengan hukum pidana. Di samping itu, karena pembangunan mengandung berbagai dimensi (multidimensi), maka juga diperlukan berbagai pengetahuan (multidisiplin).
Agar supaya penegakan hukum pidana dapat menunjang program-program pembangunan, maka patut diperhatikan Guiding Principle yang dikemukakan Konggres PBB ke-7, bahwa perlu dilakukan studi dan penelitian mengenai hubungan timbal balik antara kejahatan dan beberapa aspek tertentu dari pembangunan. Ditegaskan dalam Guiding principle tersebut, bahwa studi itu sejauh mungkin dilakukan dari perspektif interdisipliner dan ditujukan untuk perumusan kebijaksanaan dan tindakan praktis. Studi demikian dimaksudkan untuk meningkatkan sifat responsif dari kebijakan pencegahan kejahatan dan peralihan pidana dalam rangka merubah kondisi-kondisi sosial ekonomi, kultural dan politik.
Dengan demikian pengetahuan yang memadai dari para penegak hukum mengenai beberapa aspek dari pembangunan dan hubungan timbal baliknya dengan kejahatan, tidak hanya penting dalam merumuskan kebijakan penegakan hukum pidana pada tahap formulasi, tetapi juga pada tahap aplikasi yang lebih bersifat operasional.
Dalam hubungannya dengan tahap aplikasi ini sangat diharapkan perhatian para penegak hukum terhadap Guiding principle dan Konggres PBB ke-7 yang menyatakan bahwa, kebijakan pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus memperhitungkan sebab-sebab sosial ekonomis (policies for crime prevention and criminal justice should take into account the stryctural including socio-economic causes of in justice). Ini berarti, pengetahuan dari penegak hukum mengenai sebab-sebab ketidak adilan atau ketimpangan termasuk sebab-sebab terjadinya kejahatan yang bersifat struktural sebagai dampak dari kebijakan pembangunan, dapat dipertimbangkan sebagai salah satu faktor untuk menyatakan suatu perbuatan secara materiil tidak melawan hukum atau sebagai satu alasan untuk memperingan pemidanaan.

J. TUJUAN PENELITIAN
Dengan mendasarkan pada perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengaturan Trafficking menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia.
2. Untuk mengetahui penanggulangan Trafficking menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia.
3. Untuk mengetahui kendala-kendala yang muncul dalam upaya penanggulangan Trafficking menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia.

K. KEGUNAAN PENELITIAN
Dalam penelitian ini kegunaan yang diharapkan adalah sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritis.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ke arah pengembangan atau kemajuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya. 
2. Kegunaan Praktis.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang terkait dalam penegakan hukum pidana khususnya dalam hal penanggulangan Trafficking di Indonesia.

L. METODE PENELITIAN
Adapun langkah-langkah dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode sebagai berikut :
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro, yuridis normatif artinya adalah suatu penelitian yang menekankan pada ilmu hukum, tetapi di samping itu juga berusaha menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku di dalam masyarakat. 
2. Spesifikasi Penelitian.
Spesifikasi penelitian yang dipergunakan adalah deskriptif analisis. Hal ini bertujuan untuk membuat suatu gambaran tentang suatu keadaan secara objektif dalam suatu dekskriptif/situasi. Dalam penelitian ini akan diuraikan atau digambarkan mengenai penanggulangan Trafficking di Indonesia.
3. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang akurat maka diperlukan data data sekunder yang teridir dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder ;
Bahan hukum Primer
a) Berbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkut Hukum Pidana dan Trafficking.
b) Berbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkut penanggulangan Trafficking.
Bahan hukum Sekunder, yang terdiri dari :
a) Buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi.
b) Karangan ilmiah atau pendapat para ahli yang berkaitan dengan judul skripsi.
4. Metode Pengolahan dan Penyajian Data
Data yang telah terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data belum memberikan arti apa-apa bagi tujuan penelitian. Penelitian belum dapat ditarik kesimpulan bagi tujuan penelitiannya sebab data itu masih merupakan bahan mentah, sehingga diperlukan usaha untuk mengolahnya. 
Proses yang dilakukan adalah dengan memeriksa, meneliti data yang diperoleh untuk menjamin apakah data dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan kenyataan. Setelah data diolah dan dirasa cukup maka selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian-uraian dan dimungkinkan juga dalam bentuk tabel.
5. Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif, yaitu setelah memperoleh data lengkap, maka selanjutnya diperiksa kembali data yang telah diterima terutama mengenai konsistensi jawaban dari keragaman data yang diterima. Dari data tersebut selanjutnya dilakukan analisis mengenai faktor pendorong maupun penyebab dari timbulnya masalah yang ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar