Minggu, 14 Juni 2009

TRAFFICKING DAN PENANGGULANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA

Lima tahun terakhir ini persoalan hak-hak asasi manusia (HAM) semakin marak di Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan semakin meningkatnya tuntutan anggota masyarakat baik individual maupun kolektif terhadap penegakan HAM. Terlepas dari berbagai penilaian yang seringkali subyektif terhadap gerakan-gerakan tersebut, namun secara kelembagaan perhatian bangsa Indonesia terhadap HAM mau tidak mau harus ditingkatkan. 
Pergantian kekuasaan dari rejim otoritarian ke rejim demokrasi pada tahun 1998 telah memberikan angin segar terhadap penegakan HAM di Indonesia. Pemerintah kemudian mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menopang usaha penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. 
Tahun 1998 menjadi satu catatan penting dalam sejarah Indonesia. Pada masa tersebut, gerakan masyarakat yang dimotori oleh mahasiswa berhasil mendesak presiden Soeharto untuk mundur dari tampuk kepresidenan. Seiring dengan itu pula, jejak kekerasan yang ditinggalkan oleh Rejim orde baru kemudian mulai terkuak. Sebagaian besar masyarakat baru menyadari bahwa selama ini, Indonesia dibangun dengan dasar kekerasan serta pelanggaran terhadap HAM. 
Sejak itu pula, upaya penegakan HAM terus dilakukan oleh berbagai pihak. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan salah satu kelompok masyarakat yang terus mengkampanyekan tentang penegakan HAM. Selain itu, LSM yang fokus pada permasalahan HAM mulai melakukan upaya-upaya penegakan HAM serta mendesak pemerintah untuk segera melakukan penyelesaian berbagai kasus palanggaran HAM yang telah terjadi dalam masa orde baru. Dalam upaya tersebut, LSM menjalin kerja sama global dengan jaringan kerja internasional untuk mendapatkan dukungan.
Desakan yang begitu kuat dari berbagai pihak telah membuat pemerintah mau tidak mau memberikan kekuatan lebih kepada Komnas HAM. Pada tahun 1999, pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memberikan landasan yang kuat tentang keberadaan, tujuan, fungsi, keanggotan, asas, kelengkapan, serta tugas dan wewenang Komnas HAM.
Guna lebih memberikan landasan hukum pada penegakan HAM, Pemerintah pada akhirnya telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dengan diterbitkannya kedua peraturan perudang-undangan di atas, penegakan HAM di Indonesia menjadi lebih jelas kepastian hukumnya.
Akhir-akhir ini, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain terjadi peningkatan pelanggaran HAM yang dirasakan sangat serius dan dirasakan sangat mengganggu penegakan HAM. Masalah tersebut adalah adanya atau kian maraknya kasus perdagangan perempuan dan anak atau yang lebih dikenal dengan istilah “Trafficking”.
Trafficking adalah segala tindakan yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara, penindaktanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara di tempat tujuan, perempuan dan anak. 
Adanya Trafficking yang sering terjadi di dunia ini, khususnya di Indonesia menjadikan penegakan HAM di Indonesia tidak dapat berjalan dengan maksimal dan optimal, sehingga perlu kiranya pemerintah Indonesia mengantisipasinya. Mendasarkan uraian tersebut, maka penulis berkeinginan untuk mengetahui upaya-upaya pemerintah Indonesia dalam penanganan Trafficking ke dalam bentuk penulisan skripsi yang berjudul “TRAFFICKING DAN PENANGGULANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA”.



H. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini permasalahan yang akan di bahas dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan Trafficking menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia?
2. Bagaimanakah penanggulangan Trafficking menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia?
3. Kendala-kendala apa yang muncul dalam upaya penanggulangan Trafficking menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia ?

I. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Trafficking
Trafficking adalah segala tindakan yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara, penindaktanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara di tempat tujuan, perempuan dan anak. 
Trafficking dilakukan dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik, pendulikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentaan, memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan dimana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual atau adopsi ilegal.
Definisi mengenai perdagangan orang mengalami perkembangan sampai ditetapkannya “Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children Suplementing the United Nation Convention Against Transnational Organized Crime” tahun 2000. Dalam protokol tersebut yang dimaksudkan dengan perdagangan orang adalah: (a) ... the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purposes of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs. (“... rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun penerimaan/pemberian bayaran, atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi, yang secara minimal termasuk ekspolitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupainya, adopsi ilegal atau pengambilan organ-organ tubuh”). 
Definisi tersebut di atas diperluas dengan ketentuan yang berkaitan dengan anak di bawah umur (di bawah 18 tahun), bahwa: The recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of a child for the purpose of exploitation shall be considered “trafficking in persons” even if this does not involve any of the means set forth in subparagraph (a). 
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari perdagangan orang adalah:
1. Perbuatan: merekrut, mengangkut, memindahkan, menyembunyikan atau menerima.
2. Sarana (cara) untuk mengendalikan korban: ancaman, penggunaan paksaan, berbagai bentuk kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian/penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.
3. Tujuan: eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk ekspoitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, pengambilan organ tubuh. 
Dari ketiga unsur tersebut, yang perlu diperhatikan adalah unsur tujuan, karena walaupun untuk korban anak-anak tidak dibatasi masalah penggunaan sarananya, tetapi tujuannya tetap harus untuk eksploitasi.

2. Penegakan Hukum 
Penegakan hukum terdiri dari kata penegakan dan hukum. Penegakan berasal dari kata penegak yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya adalah yang mendirikan/ menegakkan. Penegak hukum adalah yang menegakkan hukum. 
Mardjono Reksodipuro mengatakan bahwa dalam arti sempit penegak hukum hanya berarti polisi dan jaksa. Di Indonesia istilah ini diperluas sehingga mencakup pula hakim dan pengacara. Jadi penegak hukum adalah aparat yang melaksanakan atau menjalankan hukum, yaitu polisi, jaksa, hakim, pengacara termasuk Lembaga Pemasyarakatan. 
Pengertian penegakan hukum dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah law enforcement dan diartikan the act of putting something such as a law into effect, the execution of a law, (penegakan hukum adalah suatu tindakan terhadap sesuatu/kejadian sesuai dengan hukum yang berlaku).
Menurut Mantan Jaksa Agung, Hari Suharto, dalam makalahnya yang disampaikan dalam seminar “Menata Materi Undang-Undang Kepolisian” tanggal 10 - 11 Desember 1984 di PTIK Jakarta, bahwa penegakan hukum adalah:
“suatu rangkaian kegiatan dalam rangka usaha pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku baik yang bersifat penindakan maupun penegakan mencakup keseluruhan kegiatan baik teknis maupun administratif yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, sehingga dapat melahirkan suasana aman, damai dan tertib demi untuk pemantapan kepastian hukum dalam masyarakat”. 

Sudarto mengatakan bahwa dalam arti luas, hukum mengatur masyarakat secara patut dan bermanfaat dengan menetapkan apa yang diharuskan ataupun yang dibolehkan dan sebaliknya. Dengan demikian menarik garis antara apa yang sesuai hukum dan apa yang melawan hukum. Hukum dapat mengkualifikasikan sesuatu perbuatan sesuai dengan hukum atau mendiskualifikasikannya sebagai melawan hukum. Perbuatan yang sesuai dengan hukum tidak merupakan masalah dan tidak perlu dipersoalkan; yang menjadi masalah ialah perbuatan yang melawan hukum. Bahkan yang diperhatikan dan digarap oleh hukum ialah justru perbuatan yang disebut terakhir ini, baik perbuatan melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi (onrecht in potentie). Perhatian dan penggarapan perbuatan itulah yang merupakan penegakan hukum. 
Kalau tata hukum dilihat secara skematis, maka dapat dibedakan adanya tiga sistem penegakan hukum, yaitu sistem penegakan hukum perdata, sistem penegakan hukum pidana dan sistem penegakan hukum administrasi. Sejalan dengan itu terdapat berturut-turut sistem sanksi hukum perdata, sistem sanksi hukum pidana dan sistem sanksi hukum administrasi (tata usaha negara). 
Ketiga sistem penegakan hukum tersebut masing-masing didukung dan dilaksanakan oleh alat perlengkapan negara atau biasa disebut aparatur (alat) penegak hukum, yang mempunyai aturan sendiri-sendiri. 
Selanjutnya dikatakan bahwa dilihat secara fungsional, maka sistem penegakan hukum itu merupakan suatu sistem aksi. Ada sekian banyak aktivitas yang dilakukan oleh alat perlengkapan negara dalam penegakan hukum. Yang dimaksud dengan “alat penegak hukum” itu biasanya hanyalah kepolisian, setidak-tidaknya badan-badan yang mempunyai wewenang kepolisian atau kejaksaan. Akan tetapi kalau penegakan hukum itu diartikan secara luas, seperti yang dikemukakan di atas, maka penegakan hukum itu menjadi tugas pula dari pembentuk undang-undang, hakim, instansi pemerintahan, aparat eksekusi pidana. Penegakan hukum di bidang pidana ini didukung oleh alat perlengkapan dan peraturan yang relatif lebih lengkap dari penegakan hukum di bidang-bidang lainnya. Aparatur yang dimaksud disini ialah kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan aparat eksekusi pidana, sedang peraturan-peraturan yang dikatakan lebih lengkap ialah antara lain ketentuan-ketentuan hukum acara pidana, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang tentang Kepolisian, Undang-Undang tentang Kejaksaan dan lain sebagainya.
Memang aturan-aturan dalam hukum acara pidana memberi petunjuk apa yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dan fihak-fihak atau orang-orang yang terlibat di dalamnya, apabila terjadi atau ada persangkaan terjadi perbuatan yang melawan hukum atau apa yang disebut kejahatan dalam arti yang luas. Hukum acara seperti hakekat hukum pada umumnya, bersifat normatif, jadi mengandung sesuatu yang seharusnya membicarakan masalah penegakan, di sini tidak membicarakan masalah hukumnya, melainkan apa yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum dalam menghadapi masalah-masalah dalam penegakan hukum. 
Tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan merupakan tujuan hukum pada umumnya. Begitu pula dalam hukum pidana, untuk menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan diperlukan perangkat perundang-undangan yaitu hukum acara pidana. Tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan sudah merupakan tuntutan manusiawi yang bersifat universal, setiap orang kapanpun dan dimanapun selalu menginginkan ditegakkannya hukum, kebenaran dan keadilan tersebut.
Sehubungan dengan penegakan hukum pidana di atas, Harun M Husein mengatakan :
“Hukum acara pidana berfungsi mengatur bagaimana tata cara yang harus ditempuh agar hukum pidana dapat ditegakkan, penegakan hukum pidana itu dilakukan dengan berusaha untuk mencari dan mendapatkan kebenaran material (kebenaran yang selengkap-lengkapnya) dan di atas kebenaran material yang didapatkan oleh hukum acara pidana itu ditegakkanlah kebenaran keadilan dan kepastian hukum”. 

Selanjutnya, mengenai fungsi dari hukum acara pidana dalam penegakan hukum pidana, A. Soetomo berpendapat :
“Hukum acara pidana memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur mekanisme proses sejak terjadinya tindak pidana, yang selanjutnya diketahui sendiri oleh aparatur negara c.q. penyidik ataupun dilaporkan atau diadukan kepada penyidik, baik oleh yang terkena kejadian itu sendiri ataupun oleh orang lain, sampai selanjutnya diambil langkah-langkah oleh penyidik, lalu hasilnya diserahkan kepada penuntut umum, kemudian disidangkan di pengadilan negeri, sehinga mendapat putusan”. 

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kejelasan bahwa tahap-tahap penegakan hukum pidana sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana, yaitu sebagai berikut :
a. Penyidikan (Opsporing)
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Tindakan ini dimaksudkan untuk mengumpulkan bukti dengan harapan bukti itu dapat membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi dan menjadi titik tolak dalam usaha menemukan tersangka (Pasal 1 Ayat (2) KUHAP). Jadi penyidik perkara pidana, seperti pencurian, penipuan, pembunuhan dan sebagainya. Terang dalam arti bahwa unsur-unsur yang diperlukan untuk menuntut peristiwa di muka hakim menjadi lengkap. Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 KUHAP, penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia dan atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
b. Penuntutan (Vervolging)
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di pengadilan (Pasal 1 Ayat (7) KUHAP). Penuntutan perkara pidana adalah tugas yang dilakukan oleh Kejaksaan (Pasal 137 KUHAP).
c. Peradilan (Rechspraak)
Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 Ayat (9) KUHAP). Jadi menjalankan pengadilan perkara adalah tugas pengadilan negeri (Pasal 84 KUHAP).
d. Pelaksanaan Putusan (Executie)
Melaksanakan putusan hakim adalah menyelenggarakan supaya segala sesuatu yang tercantum dalam putusan hakim itu dapat segera dilaksanakan, misalnya apabila putusan itu berisi pembebasan terdakwa, maka terdakwa harus segera dikeluarkan dari tahanan. Apabila berisi penjatuhan pidana denda, maka denda itu juga harus segera dibayar. Demikian pula apabila putusan merupakan penjatuhan pidana penjara, maka terpidana menjalani pidananya dalam lembaga pemasyakatan, dan sebagainya. Pelaksanaan putusan hakim disebut pula dengan istilah eksekusi yang merupakan tugas dari Kejaksaan (Pasal 270 KUHAP).
Dilihat sebagai suatu proses kebijakan, penegakan hukum pidana pada hakekatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahap, yaitu:
a. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in absrtacto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan legislatif.
b. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai pengadilan. Tahap kedua ini dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif.
c. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan eksekutif atau administratif. 
Ketiga tahap tersebut, dilihat sebagai usaha atau proses nasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang merupakan perwujudan dari kebijakan nasional. Jadi tegasnya kebijakan pembangunan harus diusahakan terwujud pada ketiga tahap kebijakan penegakan hukum tersebut di atas. Inilah makna dan konsekuensi dari pernyataan bahwa penegakan hukum pidana merupakan bagian integral dari kebijakan sosial seperti diuraikan di muka. Jadi tersimpul di dalamnya pengertian social engineering by cryminal law.
Konsekuensi demikian jelas menuntut kemampuan yang lebih atau kemampuan plus dari setiap aparat penegak hukum pidana, yaitu tidak hanya kemampuan di bidang yuridis, tetapi juga kesadaran, pengetahuan dan kemampuan yang memadai di bidang kebijakan pembangunan yang menyeluruh. Tanpa kesadaran, pengetahuan dan kemampuan yang memadai di bidang pembangunan, sulit diharapkan berhasilnya pembangunan masyarakat dengan hukum pidana. Di samping itu, karena pembangunan mengandung berbagai dimensi (multidimensi), maka juga diperlukan berbagai pengetahuan (multidisiplin).
Agar supaya penegakan hukum pidana dapat menunjang program-program pembangunan, maka patut diperhatikan Guiding Principle yang dikemukakan Konggres PBB ke-7, bahwa perlu dilakukan studi dan penelitian mengenai hubungan timbal balik antara kejahatan dan beberapa aspek tertentu dari pembangunan. Ditegaskan dalam Guiding principle tersebut, bahwa studi itu sejauh mungkin dilakukan dari perspektif interdisipliner dan ditujukan untuk perumusan kebijaksanaan dan tindakan praktis. Studi demikian dimaksudkan untuk meningkatkan sifat responsif dari kebijakan pencegahan kejahatan dan peralihan pidana dalam rangka merubah kondisi-kondisi sosial ekonomi, kultural dan politik.
Dengan demikian pengetahuan yang memadai dari para penegak hukum mengenai beberapa aspek dari pembangunan dan hubungan timbal baliknya dengan kejahatan, tidak hanya penting dalam merumuskan kebijakan penegakan hukum pidana pada tahap formulasi, tetapi juga pada tahap aplikasi yang lebih bersifat operasional.
Dalam hubungannya dengan tahap aplikasi ini sangat diharapkan perhatian para penegak hukum terhadap Guiding principle dan Konggres PBB ke-7 yang menyatakan bahwa, kebijakan pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus memperhitungkan sebab-sebab sosial ekonomis (policies for crime prevention and criminal justice should take into account the stryctural including socio-economic causes of in justice). Ini berarti, pengetahuan dari penegak hukum mengenai sebab-sebab ketidak adilan atau ketimpangan termasuk sebab-sebab terjadinya kejahatan yang bersifat struktural sebagai dampak dari kebijakan pembangunan, dapat dipertimbangkan sebagai salah satu faktor untuk menyatakan suatu perbuatan secara materiil tidak melawan hukum atau sebagai satu alasan untuk memperingan pemidanaan.

J. TUJUAN PENELITIAN
Dengan mendasarkan pada perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengaturan Trafficking menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia.
2. Untuk mengetahui penanggulangan Trafficking menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia.
3. Untuk mengetahui kendala-kendala yang muncul dalam upaya penanggulangan Trafficking menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia.

K. KEGUNAAN PENELITIAN
Dalam penelitian ini kegunaan yang diharapkan adalah sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritis.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ke arah pengembangan atau kemajuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya. 
2. Kegunaan Praktis.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang terkait dalam penegakan hukum pidana khususnya dalam hal penanggulangan Trafficking di Indonesia.

L. METODE PENELITIAN
Adapun langkah-langkah dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode sebagai berikut :
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro, yuridis normatif artinya adalah suatu penelitian yang menekankan pada ilmu hukum, tetapi di samping itu juga berusaha menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku di dalam masyarakat. 
2. Spesifikasi Penelitian.
Spesifikasi penelitian yang dipergunakan adalah deskriptif analisis. Hal ini bertujuan untuk membuat suatu gambaran tentang suatu keadaan secara objektif dalam suatu dekskriptif/situasi. Dalam penelitian ini akan diuraikan atau digambarkan mengenai penanggulangan Trafficking di Indonesia.
3. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang akurat maka diperlukan data data sekunder yang teridir dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder ;
Bahan hukum Primer
a) Berbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkut Hukum Pidana dan Trafficking.
b) Berbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkut penanggulangan Trafficking.
Bahan hukum Sekunder, yang terdiri dari :
a) Buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi.
b) Karangan ilmiah atau pendapat para ahli yang berkaitan dengan judul skripsi.
4. Metode Pengolahan dan Penyajian Data
Data yang telah terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data belum memberikan arti apa-apa bagi tujuan penelitian. Penelitian belum dapat ditarik kesimpulan bagi tujuan penelitiannya sebab data itu masih merupakan bahan mentah, sehingga diperlukan usaha untuk mengolahnya. 
Proses yang dilakukan adalah dengan memeriksa, meneliti data yang diperoleh untuk menjamin apakah data dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan kenyataan. Setelah data diolah dan dirasa cukup maka selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian-uraian dan dimungkinkan juga dalam bentuk tabel.
5. Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif, yaitu setelah memperoleh data lengkap, maka selanjutnya diperiksa kembali data yang telah diterima terutama mengenai konsistensi jawaban dari keragaman data yang diterima. Dari data tersebut selanjutnya dilakukan analisis mengenai faktor pendorong maupun penyebab dari timbulnya masalah yang ada.

PELANGGARAN PEMILU 2009 DAN MEKANISME PENYELESAIANNYA

PELANGGARAN PEMILU 2009 
DAN 
MEKANISME PENYELESAIANNYA

A. Ancaman Pelanggaran Terhadap Proses Demokratisasi
Secara umum demokrasi diartikan sebagai pemerintahan yang berasal dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Salah satu prinsip demokrasi yang penting adalah adanya Pemilu yang bebas sebagai perwujudan nyata kedaulatan rakyat atas keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kenyataan menunjukkan bahwa membumikan ide yang mulia tersebut tidaklah semudah mengucapkannya. Ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar pemilu benar-benar menghasilkan pemerintahan yang demokratis secara substantif dan bukan sekedar prosesi ritual. Prasyarat tersebut antara lain adalah : tersedianya aturan main yang jelas dan adil bagi semua peserta, adanya penyelenggara yang independen dan tidak diskriminatif, pelaksanaan aturan yang konsisten, dan adanya sanksi yang adil kepada semua pihak.
Tahapan penyelenggaraan pemilu 2009 telah diawali dengan permasalahan hukum seperti penyerahan data kependudukan atau Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) oleh Pemerintah kepada KPU yang tidak lengkap dan proses pembentukan struktur KPU di daerah yang tidak sesuai jadwal, keterlambatan pembuatan beberapa aturan, kesalahan pengumuman DCT dan pengumuman DPT yang belum final. Selain itu, sengketa mengenai hasil perolehan suara dalam Pilkada Maluku Utara telah menyeret KPU ke dalam sengketa kewenangan. KPU bersengketa dengan KPU Propinsi Malut dan berlanjut dengan Pemerintah – dalam hal ini Departemen Dalam Negeri. Beberapa pelanggaran tersebut muncul karena peraturan perundang-undangan yang ada masih belum lengkap, multi tafsir, bahkan ada yang tidak sinkron. Adanya persoalan menyangkut aturan ini berkibat pada penanganan pelanggaran yang inkonsisten atau justru mendorong pembiaran atas pelanggaran karena peraturan yang ada tidak cukup menjangkau.
Demi untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang berkualitas dan memiliki integritas tinggi maka perlu dilakukan penyempurnaan terhadap aturan yang telah ada melalui penambahan aturan, penegasan maksud dan sinkronisasi antar peraturan perundang-undangan yang ada salah satu diantaranya adalah melalui pembuatan instrumen-instrumen komplain atas terjadinya pelanggaran pemilu yang lengkap, mudah diakses, terbuka, dan adil. Lebih penting lagi adalah memastikan bahwa aturan main yang ditetapkan tersebut dijalankan secara konsisten. 
Tersedianya aturan yang konkrit dan implementatif penting untuk menjamin kepastian dan keadilan hukum sehingga pemilu memiliki landasan legalitas dan legitimasi yang kuat sehingga pemerintahan yang dihasilkan melalui pemilu tetap mendapatkan dukungan masyarakat luas. Untuk itu maka segala pelanggaran yang terjadi dalam proses pelaksanaan pemilu harus diselesaikan secara adil, terbuka dan konsisten.

B. Pelanggaran Pemilu 2009
Terjadinya pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu 2009 sudah tidak terhindarkan. Pelanggaran dapat terjadi karena adanya unsur kesengajaan maupun karena kelalaian. Pelanggaran pemilu dapat dilakukan oleh banyak pihak bahkan dapat dikatakan semua orang memiliki potensi untuk menjadi pelaku pelanggaran pemilu. Sebagai upaya antisipasi, UU 10 Tahun 2008 tentang Pemiliham Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu) mengaturnya pada setiap tahapan dalam bentuk kewajiban, dan larangan dengan tambahan ancaman atau sanksi. 
Potensi pelaku pelanggaran pemilu dalam UU pemilu antara lain :
1. Penyelenggara Pemilu yang meliputi anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten Kota, Panwas Kecamatan, jajaran sekretariat dan petugas pelaksana lapangan lainnya;
2. Peserta pemilu yaitu pengurus partai politik, calon anggota DPR, DPD, DPRD, tim kampanye; 
3. Pejabat tertentu seperti PNS, anggota TNI, anggota Polri, pengurus BUMN/BUMD, Gubernur/pimpinan Bank Indonesia, Perangkat Desa, dan badan lain lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
4. Profesi Media cetak/elektronik, pelaksana pengadaan barang, distributor;
5. Pemantau dalam negeri maupun asing;
6. Masyarakat Pemilih, pelaksana survey/hitungan cepat, dan umum yang disebut sebagai “setiap orang”.
Meski banyak sekali bentuk pelanggaran yang dapat terjadi dalam pemilu, tetapi secara garis besar UU Pemilu membaginya berdasarkan kategori jenis pelanggaran pemilu menjadi: (1) pelanggaran administrasi pemilu; (2) pelanggaran pidana pemilu; dan (3) perselisihan hasil pemilu.  
1. Pelanggaran Administrasi
Pasal 248 UU Pemilu mendefinisikan perbuatan yang termasuk dalam pelanggaran administrasi adalah pelanggaran terhadap ketentuan UU Pemilu yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana pemilu dan ketentuan lain yang diatur dalam Peraturan KPU. Dengan demikian maka semua jenis pelanggaran, kecuali yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana, termasuk dalam kategori pelanggaran administrasi. 
Contoh pelanggaran administratif tersebut misalnya ; tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi peserta pemilu, menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan untuk berkampanye, tidak melaporkan rekening awal dana kampanye, pemantau pemilu melanggar kewajiban dan larangan.
2. Tindak Pidana Pemilu 
Pasal 252 UU Pemilu mengatur tentang tindak pidana pemilu sebagai pelanggaran pemilu yang mengandung unsur pidana. Pelanggaran ini merupakan tindakan yang dalam UU Pemilu diancam dengan sanksi pidana. Sebagai contoh tindak pidana pemilu antara lain adalah sengaja menghilangkan hak pilih orang lain, menghalangi orang lain memberikan hak suara dan merubah hasil suara. Seperti tindak pidana pada umumnya, maka proses penyelesaian tindak pidana pemilu dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang ada yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
3. Perselisihan Hasil Pemilu
Yang dimaksud dengan perselisihan hasil pemilu menurut pasal 258 UU Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan jumlah perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Perselisihan tentang hasil suara sebagaimana dimaksud hanya terhadap perbedaan penghitungan perolehan hasil suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi peserta pemilu.
Sesuai dengan amanat Konstitusi yang dijabarkan dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka perselisihan mengenai hasil perolehan suara diselesaikan melalui peradilan konstitusi di MK.
Satu jenis pelanggaran yang menurut UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu (UU KPU) menjadi salah satu kewenangan Panwaslu Kabupaten/Kota untuk menyelesaikannya adalah pelanggaran pemilu yang bersifat sengketa. Sengketa adalah perbenturan dua kepentingan, kepentingan dan kewajiban hukum, atau antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum (konflik) yang dalam konteks pemilu dapat terjadi antara peserta dengan penyelenggara maupun antara peserta dengan peserta. Pada pemilu 2004, tata cara penyelesaian terhadap jenis pelanggaran ini diatur dalam satu pasal tersendiri (pasal 129 UU 12/2003). Terhadap sengketa pemilu ini yaitu perselisihan pemilu selain yang menyangkut perolehan hasil suara, UU 10/2008 tidak mengatur mekanisme penyelesaiannya. 
Sengketa juga dapat terjadi antara KPU dengan peserta pemilu atau pihak lain yang timbul akibat dikeluarkannya suatu Peraturan dan Keputusan KPU. Kebijakan tersebut, karena menyangkut banyak pihak, dapat dinilai merugikan kepentingan pihak lain seperti peserta pemilu (parpol dan perorangan), media/pers, lembaga pemantau, pemilih maupun masyarakat. Berbeda dengan UU 12/2003, yang menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat, dalam UU KPU dan UU Pemilu tidak ada ketentuan yang menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat. Dengan demikian maka Keputusan KPU yang dianggap merugikan terbuka kemungkinan untuk dirubah. Persoalannya, UU Pemilu juga tidak memberikan “ruang khusus” untuk menyelesaikan ketidakpuasan tersebut. 
Contoh kasus yang telah nyata ada adalah 1) sengketa antara calon peserta pemilu dengan KPU menyangkut Keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu. Keputusan KPU tersebut dianggap merugikan salah satu atau beberapa calon peserta pemilu. 2) sengketa antara partai politik peserta pemilu dengan anggota atau orang lain mengenai pendaftaran calon legislatif. Pencalonan oleh partai politik tertentu dianggap tidak sesuai dengan atau tanpa seijin yang bersangkutan.

C. Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran 
Meski jenis pelanggaran bermacam-macam, tetapi tata cara penyelesaian yang diatur dalam UU hanya mengenai pelanggaran pidana. Pelanggaran administrasi diatur lebih lanjut melalui Peraturan KPU dan selisih hasil perolehan suara telah diatur dalam UU MK.

ALUR PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU
 

BATAS WAKTU PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU
 
1. Mekanisme Pelaporan 
Penyelesaian pelanggaran pemilu diatur dalam UU Pemilu BAB XX. Secara umum, pelanggaran diselesaikan melalui Bawaslu dan Panwaslu sesuai dengan tingkatannya sebagai lembaga yang memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap setiap tahapan pelaksanaan pemilu. Dalam proses pengawasan tersebut, Bawaslu dapat menerima laporan, melakukan kajian atas laporan dan temuan adanya dugaan pelanggaran, dan meneruskan temuan dan laporan dimaksud kepada institusi yang berwenang. 
Selain berdasarkan temuan Bawaslu, pelanggaran dapat dilaporkan oleh anggota masyarakat yang mempunyai hak pilih, pemantau pemilu dan peserta pemilu kepada Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota paling lambat 3 hari sejak terjadinya pelanggaran pemilu. Bawaslu memiliki waktu selama 3 hari untuk melakukan kajian atas laporan atau temuan terjadinya pelanggaran. 
Apabila Bawaslu menganggap laporan belum cukup lengkap dan memerlukan informasi tambahan, maka Bawaslu dapat meminta keterangan kepada pelapor dengan perpanjangan waktu selama 5 hari.
Berdasarkan kajian tersebut, Bawaslu dapat mengambil kesimpulan apakah temuan dan laporan merupakan tindak pelanggaran pemilu atau bukan. Dalam hal laporan atau temuan tersebut dianggap sebagai pelanggaran, maka Bawaslu membedakannya menjadi 1) pelanggaran pemilu yang bersifat administratif dan 2) pelanggaran yang mengandung unsur pidana. Bawaslu meneruskan hasil kajian tersebut kepada instansi yang berwenang untuk diselesaikan.
Aturan mengenai tata cara pelaporan pelanggaran pemilu diatur dalam ketentuan pasal 247 UU 10/2008 yang diperkuat dalam Peraturan Bawaslu No.05 /2008.

PENANGANAN LAPORAN DI BAWASLU
 

2. Mekanisme penyelesaian pelanggaran administrasi
Pelanggaran pemilu yang bersifat administrasi menjadi kewenangan KPU untuk menyelesaikannya. UU membatasi waktu bagi KPU untuk menyelesaikan pelanggaran administrasi tersebut dalam waktu 7 hari sejak diterimanya dugaan laporan pelanggaran dari Bawaslu. Sesuai dengan sifatnya, maka sanksi terhadap pelanggaran administrasi hendaknya berupa sanksi administrasi. Sanksi tersebut dapat berbentuk teguran, pembatalan kegiatan, penonaktifan dan pemberhentian bagi pelaksana pemilu. Aturan lebih lanjut tentang tata cara penyelesaian pelanggaran administrasi dibuat dalam peraturan KPU. Peraturan KPU mengenai hal tersebut sampai saat ini belum ada. 
Meski kewenangan menyelesaikan pelanggaran administrasi menjadi domain KPU, KPU Propinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam ketentuan UU Pemilu pasal 248-251, tetapi UU Pemilu juga memberikan tugas dan wewenang kepada Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Propinsi dan Bawaslu untuk menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran terhadap ketentuan kampanye yang tidak mengandung unsur pidana (lihat UU 10/2008 pasal 113 ayat (2), pasal 118 ayat (2), dan 123 ayat (2). 
Terhadap pelanggaran yang menyangkut masalah perilaku yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu seperti anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan jajaran sekretariatnya, maka Peraturan KPU tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat diberlakukan. Hal yang sama juga berlaku bagi anggota Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, dan jajaran sekretariatnya, yang terikat dengan Kode Etik Pengawas Pemilu. 

PENANGANAN PELANGGARAN ADMINISTRASI PEMILU
 
3. Mekanisme penyelesaian pelanggaran pidana pemilu
3.1 Proses Penyidikan
Sebenarnya penanganan tindak pidana pemilu tidak berbeda dengan penanganan tindak pidana pada umumnya yaitu melalui kepolisian kepada kejaksaan dan bermuara di pengadilan. Secara umum perbuatan tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu juga terdapat dalam KUHP. Tata cara penyelesaian juga mengacu kepada KUHAP. Dengan asas lex specialist derogat lex generali maka aturan dalam UU Pemilu lebih utama. Apabila terdapat aturan yang sama maka ketentuan yang diatur KUHP dan KUHAP menjadi tidak berlaku. 
Mengacu kepada pasal 247 angka (9) UU Pemilu, temuan dan laporan tentang dugaan pelanggaran pemilu yang mengandung unsur pidana, setelah dilakukan kajian dan didukung dengan data permulaan yang cukup, diteruskan oleh Bawaslu kepada penyidik Kepolisian. Proses penyidikan dilakukan oleh penyidik polri dalam jangka waktu selama-lamanya 14 hari terhitung sejak diterimanya laporan dari Bawaslu. Kepolisian mengartikan 14 hari tersebut termasuk hari libur. Hal ini mengacu kepada KUHAP yang mengartikan hari adalah 1 x 24 jam dan 1 bulan adalah 30 hari. Guna mengatasi kendala waktu dan kesulitan penanganan pada hari libur, pihak kepolisian telah membentuk tim kerja yang akan menangani tindak pidana pemilu. Setiap tim beranggotakan antara 4-5 orang.
TIM PENYIDIK TINDAK PIDANA PEMILU POLRI
BARESKRIM 7 TIM (4 Dalalm Negeri + 3 Luar Negeri)
POLDA 5 TIM
POLWIL 3 TIM
POLRES 10 TIM

Dengan adanya tim kerja tersebut maka penyidikan akan dilakukan bersama-sama. Setelah menerima laporan pelanggaran dari Bawaslu, penyidik segera melakukan penelitian terhadap 1) kelengkapan administrasi laporan yang meliputi : keabsahan laporan (format, stempel, tanggal, penomoran, penanda tangan, cap/stempel), kompetensi Bawaslu terhadap jenis pelanggaran, dan kejelasan penulisan; dan 2) materi/laporan yang natara lain : kejelasan indentitas (nama dan alamat) pelapor, saksi dan tersangka, tempat kejadian perkara, uraian kejadian/pelanggaran, waktu laporan. 
Berdasarkan indentitas tersebut, penyidik melakukan pemanggilan terhadap saksi dalam waktu 3 hari dengan kemungkinan untuk memeriksa saksi sebelum 3 hari tersebut yang dapat dilakukan di tempat tinggal saksi. 14 hari sejak diterimanya lapaoran dari Bawaslu, pihak penyidik harus menyampaikan hasil penyidikan beserta berkas perkara kepada penuntut umum (PU). 

WAKTU PENYIDIKAN
 
3.2 Proses Penuntutan
UU Pemilu tidak mengatur secara khusus tentang penuntut umum dalam penanganan pidana pemilu. Melalui Surat Keputusan (September 2008) Jaksa Agung telah menunjuk jaksa khusus pemilu di seluruh Indonesia (31 Kejaksaan Tinggi, 272 kejaksaan Negeri, dan 91 Cabang Kejaksaan Negeri). Masing-masing Kejaksaan Negeri dan Cabang Kejaksaan Negeri ditugaskan 2 orang jaksa khusus untuk menangani pidana pemilu tanpa menangani kasus lain di luar pidana pemilu. Di tingkat Kejaksaan Agung ditugaskan 12 orang jaksa yang dipimpin Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) untuk menangani perkara pemilu di pusat dan Luar Negeri. Penugasan ini dituangkan dalam Keputusan Jaksa Agung No. 125/2008. 
Jika hasil penyidikan dianggap belum lengkap, maka dalam waktu paling lama 3 hari penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik kepolisian disertai dengan petunjuk untuk melengkapi berkas bersangkutan. Perbaikan berkas oleh penyidik maksimal 3 hari untuk kemudian dikembalikan kepada PU. 
Maksimal 5 hari sejak berkas diterima, PU melimpahkan berkas perkara kepada pengadilan. Karena sejak awal penanganan kasus di kepolisian pihak kejaksaan sudah dilibatkan untuk mengawal proses penyidikan maka duduk perkara sudah dapat diketahui sejak Bawaslu melimpahkan perkara ke penyidik. Dengan demikian maka PU dapat mempersiapkan rencana awal penuntutan/matrik yang memuat unsur-unsur tindak pidana dan fakta-fakta perbuatan. Pada saat tersangka dan barang bukti dikirim/diterima dari kepolisian maka surat dakwaan sudah dapat disusun pada hari itu juga. Karena itu masalah limitasi waktu tidak menjadi kendala. 
Untuk memudahkan proses pemeriksaan terhadap adanya dugaan pelanggaran pidana pemilu, Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan telah membuat kesepahaman bersama dan telah membentuk sentra penegakan hukum terpadu (Gakumdu). Adanya Gakumdu memungkinkan pemeriksaan perkara pendahuluan melalui gelar perkara.
3.3 Proses Persidangan 
Tindak lanjut dari penanganan dugaan pelanggaran pidana pemilu oleh Kejaksaan adalah pengadilan dalam yuridiksi peradilan umum. Mengingat bahwa pemilu berjalan cepat, maka proses penanganan pelanggaran menggunakan proses perkara yang cepat (speed tryal). Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana pemilu menggunakan KUHAP sebagai pedoman beracara kecuali yang diatur secara berbeda dalam UU Pemilu. Perbedaan tersebut terutama menyangkut masalah waktu yang lebih singkat dan upaya hukum yang hanya sampai banding di Pengadilan Tinggi. 
7 hari sejak berkas perkara diterima Pengadilan Negeri memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana pemilu. Batasan waktu ini akan berimbas kepada beberapa prosedur yang harus dilalui seperti pemanggilan saksi dan pemeriksaan khususnya di daerah yang secara geografis banyak kendala. Untuk itu maka UU memerintahkan agar penanganan pidana pemilu di pengadilan ditangani oleh hakim khusus yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan MA. PERMA No. 03/2008 menegaskan bahwa Hakim khusus sebagaimana dimaksud berjumlah antara 3 – 5 orang hakim dengan kriteria telah bekerja selama 3 tahun. MA juga telah mengeluarkan Surat Edaran No. 07/A/2008 yang memerintahkan kepada Pengadilan Tinggi untuk segera mempersiapkan/menunjuk hakim khusus yang menangani tindak pidana pemilu. 
Dalam hal terjadi penolakan terhadap putusan PN tersebut, para pihak memiliki kesempatan untuk melakukan banding ke Pengadilan Tinggi. Permohonan banding terhadap putusan tersebut diajukan paling lama 3 hari setelah putusan dibacakan. PN melimpahkan berkas perkara permohonan banding kepada PT paling lama 3 hari sejak permohonan banding diterima. 
PT memiliki kesempatan untuk memeriksa dan memutus permohonan banding sebagaimana dimaksud paling lama 7 hari setelah permohonan banding diterima. Putusan banding tersebut merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat sehingga tidak dapat diajukan upaya hukum lain. 
3.4 Proses Pelaksanaan Putusan
3 hari setelah putusan pengadilan dibacakan, PN/PT harus telah menyampaikan putusan tersebut kepada PU. Putusan sebagaimana dimaksud harus dilaksanakan paling lambat 3 hari setelah putusan diterima jaksa.
Jika perkara pelanggaran pidana pemilu menurut UU Pemilu dipandang dapat mempengaruhi perolehan suara peserta pemilu maka putusan pengadilan atas perkara tersebut harus sudah selesai paling lama 5 hari sebelum KPU menetapkan hasil pemilu secara nasional. Khusus terhadap putusan yang berpengaruh terhadap perolehan suara ini, KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota dan peserta harus sudah menerima salinan putusan pengadilan pada hari putusan dibacakan. KPU berkewajiban untuk menindaklanjuti putusan sebagaimana dimaksud.
Demikian pengecualian hukum beracara untuk menyelesaikan tindak pidana pemilu menurut UU 10/2008 yang diatur berbeda dengan KUHAP. Sesuai dengan sifatnya yang cepat, maka proses penyelesaian pelanggaran pidana pemilu paling lama 53 hari sejak terjadinya pelanggaran sampai dengan pelaksanaan putusan oleh jaksa. Pengaturan ini jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan UU 12/2003 yang memakan waktu 121 hari.

PROSES PENUNTUTAN & PERSIDANGAN
 
4. Perselisihan Hasil Perolehan Suara
Sesuai dengan Konstitusi yang dijabarkan dalam ketentuan UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, perselisahan tentang hasil perolehan suara pemilu diselesaikan melalui MK. Tata cara penyelesaian perselisihan perolehan hasil suara pemilu 2009 telah diatur dalam PMK No. 14/2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Permohonan diajukan oleh peserta pemilu paling lambat 3 x 24 jam sejak KPU mengumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Pengajuan permohonan disertai dengan alat bukti pendukung seperti sertifikat hasil penghitungan suara, sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan setiap jenjang, berita acara penghitungan beserta berkas pernyataan keberatan peserta, serta dokumen tertulis lainnya.
Apabila kelengkapan dan syarat permohonan dianggap tidak cukup, panitera MK memberitahukan kepada pemohon untuk diperbaiki dalam tenggat 1 x 24 jam. Apabila dalam waktu tersebut perbaikan kelengkapan dan syarat tidak dilakukan, maka permohonan tidak dapat diregistrasi.
3 hari kerja sejak permohonan tercatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi panitera mengirimkan permohonan kepada KPU. Dalam permohonan tersebut disertakan juga permintaan keterangan tertulis KPU yang dilengkapi dengan bukti-bukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan. Keterangan tertulis tersebut haraus sudah diterima MK paling lambat 1 hari sebelum hari persidangan.
Mahkamah menetapkan hari sidang pertama dala mwaktu 7 hari kerja sejak permohonan diregistrasi. Penetapan hari sidang pertama diberitahukan kepada pemohon dan KPU paling lambat 3 hari sebelum hari persidangan.
Pemeriksaan permohonan dibagi menjadi : 1) pemeriksaan pendahuluan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. Panel Hakim yang terdiri atas 3 orang hakim konstitusi wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan apabila terdapat kekurangan paling lambat 1 x 24 jam. 2) pemeriksaan persidangan yang dilakukan untuk memeriksa kewenangan MK, kedudukan pemohon, pokok permohonan, keterangan KPU dan alat bukti oleh Panel Hakim dan/atau Pleno Hakim dalam sidang yang terbuka untuk umum. 
Putusan MK dijatuhkan paling lambat 30 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi. Putusan MK bersifat final dan selanjtunya disampaikan kepada pemohon, KPU dan Presiden serta dapat disampaikan kepada pihak terkait. KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti Putusan tersebut.

D. Beberapa Permasalahan

a) Waktu Terjadinya Pelanggaran. Laporan pelanggaran pemilu oleh peserta pemilu, pemantau dan pemilih harus disampaikan kepada Bawaslu paling lama 3 hari sejak terjadinya pelanggaran. Dalam konteks hukum pidana, waktu kejadian perkara (tempos delicti) terhitung sejak suatu tindak pidana atau kejadian dilakukan oleh si pelaku dan bukan pada saat selesainya suatu perbuatan atau timbulnya dampak/akibat hukum. Ketentuan ini secara sengaja telah menutup celah bagi proses hukum terhadap pelanggaran pemilu yang tidak terjadi di ruang terbuka. Sebagai contoh pemberian atau penerimaan dana kampanye yang melebihi jumlah yang telah ditentukan tetapi dilakukan melalui transfer rekening antar bank pada hari jumat malam. Karena membutuhkan proses administrasi dan terkendala hari libur maka dana baru diterima setelah 3 hari. Secara konseptual terjadinya pelanggaran adalah hari jumat sehingga pelanggaran tidak dapat diproses.
b) Penanganan laporan. Peraturan Bawaslu No. 05 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pelaporan Pelanggaran Pemilu DPR, DPD, dan DPRD tidak memberikan rincian lebih jauh dibandingkan dengan apa yang telah diatur dalam UU Pemilu. Beberapa format laporan sebagai lampiran dari Peraturan dimaksud lebih menunjukkan bahwa Peraturan mengarah kepada petunjuk teknis dan pedoman Bawaslu tentang penerimaan laporan pelanggaran pemilu. Bawaslu perlu mengatur lebih detail tentang tata cara penanganan laporan/temuan pelanggaran terkait dengan dokumen bukti indentitas, informasi/keterangan yang cukup, jenis alat bukti minimal, materi pelanggaran, dan standar laporan dan berkas yang akan diteruskan kepada penyidik. 
c) Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi. Sampai saat ini KPU belum menerbitkan Peraturan tentang Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi yang diamanatkan UU 10/2008. Belum adanya aturan mengenai masalah ini akan mengakibatkan penanganan pelanggaran administrasi yang berbeda antara kasus satu dengan yang lain bergantung kepada kemauan KPU sehingga tidak memberikan kepastian hukum dan dapat mencederai rasa keadilan. Karena itu KPU harus segera membuat aturan tersebut sesegera mungkin sebagai pedoman bagi semua pihak yang terlibat dan berkepentingan dengan penyelenggaraan pemilu. Peraturan tentang tata cara penyelesaian pelanggaran administrasi setidaknya mengatur mengenai kategorisasi tingkat pelanggaran, pemanggilan pelaku, pembuktian, adanya kesempatan pelaku untuk membela diri, jenis sanksi yang dapat dijatuhkan berdasar tingkat pelanggaran atau kesalahan, proses pelaksanaan sanksi, dan ketersediaan waktu yang cukup dan pasti. 
d) Penegasan wewenang dan tanggung jawab penyelesaian pelanggaran administrasi. Terjadi kerancuan pengaturan dalam ketentuan UU Pemilu antara pasal 248-251 dengan pasal 113 ayat (2), pasal 118 ayat (2), dan 123 ayat (2) serta UU KPU pasal 78 ayat (1) huruf c. Beberapa ketentuan yang bertolak belakang ini menyebabkan ketidakpastian proses penanganan pelanggaran pemilu yang tidak mengandung unsur pidana. Dikuatirkan KPU dan Bawaslu saling melepaskan tanggung jawab untuk menangani pelanggaran tersebut. Perlu ada kesepakatan antara KPU dan Bawaslu mengenai pembagian tugas dan wewenang penyelesaian pelanggaran administrasi. Wewenang Panwaslu Kabupaten/Kota untuk menangani pelanggaran administrasi pada tahap kampanye apakah merupakan suatu pengecualian, atau disepakati untuk dikesampingkan karena bertentangan dengan asas kepastian dan keadilan. Kalau dianggap pengecualian, maka bagaimana tata cara penyelesaiannya.
e) Pengertian ”hari”. UU Pemilu tidak meberikan definisi dan penjelasan mengenai “hari” untuk menangani pelanggaran pemilu. Yang dimaksud apakah hanya hari kerja atau termasuk hari libur dan yang diliburkan (cuti bersama). Akibatnya terjadi perbedaan pemahaman antar instansi penegak hukum pemilu. Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan telah bersepakat bahwa yang dimaksud dengan hari adalah 1 x 24 jam (termasuk di dalamnya hari libur) tetapi MA dan MK menegaskan bahwa hari adalah hari kerja. KPU, meski beberapa tahapan penyelenggaraan pemilu juga dibatasi dengan hari, tidak mengatur mengenai hal tersebut. Tidak adanya pengertian yang sama mengenai masalah ini akan berpotensi mengganggu proses penanganan pelanggaran khususnya menyangkut batas waktu (daluarsa).
f) Tindakan terhadap TNI. UU 12/2003 pasal 132 dengan tegas menyatakan bahwa tindakan kepolisian terhadap pejabat negara seperti anggota DPR, DPD, DPRD, dan PNS harus dengan ijin khusus sebagaiman diatur dalam UU 13/1970 tidak berlaku. Ketentuan ini tidak terdapat dalam UU 10/2008 sehingga keputusan Kepolisian dan Kejaksaan untuk memeriksa anggota legislatif dan PNS tanpa ijin tersebut memiliki resiko hukum tersendiri. Selain itu, UU Pemilu juga tidak mengatur keterlibatan POM TNI untuk memeriksa kasus yang menyangkut anggota TNI sementara penyidik Kepolisian merasa tidak memiliki wewenang untuk memeriksa anggota TNI.
g) Gakkumdu. Pembuatan nota kesepahaman antara Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan dan kesepakatan pembentukan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) belum menjawab kebutuhan terhadap kecepatan penanganan perkara. Pasal 12 MOU menyangkut proses pengembalian berkas perkara dari PU kepada Penyidik untuk diperbaiki dimungkinkan terjadi 2 kali masing-masing 3 hari. Kesepakatan ini dapat dianggap bertentangan ketentuan pasal 253 UU Pemilu yang memberikan kesempatan pengembalian/perbaikan berkas dari PU ke Penyidik hanya satu kali (3 hari). Pengulangan ini akan mengakibatkan perkara yang sampai ke PU telah melampaui tenggat waktu dari yang telah ditentukan dalam UU Pemilu.
h) Banding. Proses penanganan banding atas putusan PN dilakukan dalam waktu 7 hari yang terhitung “sejak permohonan banding diterima”. Sementara proses pelimpahan berkas perkara banding dari PN ke PT dapat dilakukan paling lama 3 hari yang dihitung sejak “permohonan banding diterima”. Adanya titik hitung yang sama untuk dua persoalan yang berkelanjutan mengakibatkan waktu pemeriksaan di tingkat banding berkurang menjadi 4 hari. Dengan pemeriksaan yang sangat singkat dikhawatirkan PT tidak cukup waktu untuk menangani perkara. 
i) Jumlah aparat. Khusus untuk menangani perkara pemilu Kejaksaan telah menugaskan 2 orang jaksa sementara PN dan PT harus menyediakan hakim khusus 3 – 5 orang sebagaimana diatur dalam Perma No. 03 tahun 2008 dan SEMA 07/A/2008. Jumlah aparat tersebut dapat menyebabkan proses penanganan perkara terbengkalai apabila terjadi penumpukan perkara pada tahapan tertentu karena batasan waktu yang singkat dalam penanganannya termasuk apabila pelanggaran terjadi di wilayah yang memiliki kendala geografis.
j) Jenis Pidana dan Hukum Acara Pemeriksaan. KUHP membedakan tindak pidana sebagai pelanggaran (tindak pidana yang ancaman hukumannya kurang dari 12 bulan ) dan kejahatan (ancaman hukumannya 12 bulan ke atas). Dalam KUHAP pelanggaran menggunakan hukum acara singkat dan kejahatan dengan hukum acara biasa. tetapi UU 10/2008 tidak membedakannya. Tidak ada penjelasan acara apa yang akan digunakan untuk mengadili, apakah pelimpahan dengan menggunakan acara pemeriksaan singkat atau dengan pemeriksaan biasa. Karena menyangkut tanggung jawab dari perkara inklusif perkara dan barang bukti. Apabila acara pemeriksaan singkat maka meski berkas perkara telah dilimpahkan tetapi tanggungjawab tersangka tetap ada pada jaksa sampai proses persidangan. Tetapi apabila menggunakan acara pemeriksaan biasa, maka sejak pelimpahan berkas tanggung jawab terhadap barang bukti dan tersangka menjadi tanggung jawab pengadilan. Selain itu sanksi pidana pemilu berbentuk komulatif dengan rentang perbedaan yang cukup tinggi sehingga dapat memunculkan disparitas putusan.
k) Pelaksanaan putusan. UU memerintahkan 3 hari sejak putusan PN/PT dijatuhkan maka harus segera dilaksanakan oleh jaksa selaku eksekutor. Permasalahannya untuk melakukan eksekusi mengharuskan jaksa memperoleh salinan putusan dari pegadilan. Kalau dalam waktu 3 hari salinan putusan belum disampaikan apakah eksekusi tetap dapat dilaksanakan? Karena terhadap tersangka jaksa tidak dapat melakukan penahanan seperti pasal 21 KUHAP. Selain itu perlu juga ditegaskan mengenai bentuk salinan putusan dimaksud, apakah salinan putusan yang diketik, kutipan atau petikan putusan? 
l) Sengketa Putusan KPU. UU KPU dan UU Pemilu tidak menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat. Padahal Keputusan KPU berpotensi menimbulkan sengketa. Namun begitu UU juga tidak mengatur mekanisme untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Sementara mekanisme gugatan melalui PTUN sulit dilakukan. Pasal 2 huruf g UU PTUN (UU 5/1986 yang telah dirubah dengan UU No. 9/2004) menegaskan ”tidak termasuk ke dalam pengertian Keputusuan TUN adalah Keputusan KPU baik di Pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilu”. Sekalipun yang dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan pasal tersebut adalah mengenai hasil pemilu, tetapi SEMA No. 8/2005 tentang Petunjuk Teknis Sengketa Pilkada mengartikan hasil pemilu ”meliputi juga keputusan-keputusan lain yang terkait dengan pemilu”. Selain itu dalam berbagai Yurisprudensi MA, telah digariskan bahwa keputusan yang berkaitan dan termasuk dalam ruang lingkup politik dalam kasus pemilihan tidak menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya. Untuk mengisi kekosongan hukum dan menghindari penafsiran menyimpang tersebut maka SEMA No. 8/2005 sebaiknya dicabut.

ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU
Alternatif (I) Alternatif (II) Alternatif (III) Alternatif (IV)
Gugatan, permintaan pihak yang merasa dirugikan kepada PTUN untuk membatalkan suatu Keputusan Konsiliasi, mempertemukan pihak-pihak yg bersengketa untuk mencapai suatu kesepakatan Mediasi, memberi tawaran alternatif kepada pihak-pihak yang bersengketa tetapi tidak mengikat Arbitrase, pembuatan satu keputusan untuk menyelesaikan persengketaan yang harus dipatuhi oleh pihak-pihak yang bersengketa

E. Rekomendasi
Secara umum UU Pemilu telah memberikan pedoman untuk menyelesaikan pelanggaran yang terjadi. Pengaturan penyelesaian pelanggaran pemilu dengan batasan waktu yang singkat bertujuan untuk mendorong penyelesaian kasus yang disesuaikan dengan tahapan pelaksanaan pemilu sehingga ada jaminan bahwa pemilu diselenggarakan secara bersih. Persoalannya beberapa ketentuan tidak cukup mampu untuk menindak terjadinya pelanggaran pemilu apalagi mencegahnya. Hal ini karena ketentuan UU Pemilu belum lengkap, multitafsir dan beberapa diantaranya kontradiksi. Upaya mengatasi permasalahan tersebut dapat dilakukan melalui pembuatan peraturan tertentu sebagaimana diamanatkan UU Pemilu, kesepakatan bersama antara KPU - Bawaslu dan lembaga penegak hukum mengenai tata cara penanganan pelanggaran, serta meningkatkan kapasitas aparat di masing-masing lembaga mengenai aturan perundang-undangan pemilu. 
Penanganan pelanggaran secara jujur dan adil merupakan bukti adanya perlindungan kedaulatan rakyat dari tindakan-tindakan yang dapat mencederai proses dan hasil pemilu. Adalah kewajiban bagi pengawas, penyelenggara dan aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa semua pelanggaran pemilu yang terjadi dapat diselesaikan secara adil dan konsisten.

 
PERBANDINGAN 
TATA CARA PENYELESAIAN PELANGGARAN PIDANA PEMILU 
MENURUT UU 12/2003 DAN UU 10/2008 

TAHAPAN UU 10/2008 UU 12/2003
 Pasal Waktu Pasal Waktu
Laporan kepada Bawaslu tentang pelanggaran pemilu 247 ayat (4) 3 hari 127 ayat (4) 7 hari
Tindak lanjut laporan oleh bawaslu 247 ayat (6) 3 hari 128 ayat (2) 7 hari
Bawaslu memerlukan keterangan tambahan 247 ayat (7) 5 hari 128 ayat (3) 14 hari
Penyidikan kepolisian 253 ayat (1) 14 hari 131 ayat (2) 30 hari
Pelimpahan berkas ke JPU 131 ayat (3) 7 hari
Pengembalian berkas kepada penyidik kepolisian 253 ayat (2) 3 hari 138 ayat (1) UU 8/1981 7 hari
Penyampaian kembali berkas perkara ke JPU 253 ayat (3) 3 hari 110 ayat (4) UU 8/ 1981 14 hari
Pelimpahan berkas perkara oleh JPU ke PN 253 ayat (4) 5 hari 131 ayat (4) 14 hari
Pemeriksaan, persidangan dan lahir putusan PN 255 ayat (1) 7 hari 133 ayat (4) 21 hari
Permohonan banding 255 ayat (2) 3 hari 233 ayat (2) UU 8/1981 7 hari
Pelimpahan berkas perkara permohonan banding oleh PN 255 ayat (3) 3 hari 236 ayat (1) UU 8/1981 14 hari
Pemeriksaan, persidangan dan lahir putusan PT 255 ayat (4) 7 hari 133 ayat (4) 14 hari
Penyampaian hasil putusan PN dan PT ke JPU 256 ayat (1) 3 hari - -
Pelaksanaan hasil putusan PN dan PT 256 ayat (2) 3 hari - -